بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Senin, 24 September 2018

SURAH AL-HUMAZAH 104 ~ TAFSIR SPIRITUAL


الْهُمَزَةُ
AL-HUMAZAH
Surah Ke-104; 9 Ayat.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ.
الَّذِيْ جَمَعَ مَالًا وَ عَدَّدَهُ.
يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ.
104:1. Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela,
104:2. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya,
104:3. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya,
Wailun likulli humazatin lumazah (Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela – ayat: 1). Celakalah orang yang biasa berperilaku dengan dua perbuatan tercela ini. Sebab, kata yang berpola humaz (fu‘al) adalah untuk menunjukkan kebiasaan. Hamz (umpatan) berarti merendahkan martabat orang atau mencemarkan nama baiknya (al-kasr min a‘radh al-nās). Sedangkan lamz (celaan) berarti mencela orang. Kedua perilaku rendah itu merupakan gabungan dari sifat bodoh, marah, dan sombong. Sebab, keduanya mengandung penganiayaan dan mencari-cari kelebihan di atas orang lain. Orang pengumpat dan pencela ingin lebih di atas orang lain, tetapi ia tidak menemukan kelebihan dalam dirinya. Karena itu ia kemudian menisbatkan cacat dan perbuatan tercela pada orang lain, supaya tampak kelebihannya di atas mereka, sementara dirinya tidak menyadari bahwa penisbatan demikian adalah cacat itu sendiri. Dan (kalau pun benar ia tak memiliki sifat cela yang dinisbatkan kepada orang lain, maka) tidak adanya sifat tercela itu bukanlah suatu keutamaan. Dengan demikian, ia sungguh telah tertipu oleh ilusi diri dan syaithān, dirasuki daya-daya (jiwa) rendah nuthqiyyah dan daya-daya marah.
Kemudian Allah mengganti sifat itu dengan sifat rendah daya-daya syahwat, dengan firman (selanjutnya): Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung – ayat: 2). Frase “dan ia menghitung-hitung (‘addadah)” mengisyarat adanya kebodohan. Karena orang yang menjadikan harta sebagai mesin untuk berbagai keperluan yang bisa dibeli, tidak menyadari bahwa harta itu sendiri akan menjerumuskannya ke dalam jurang kebutuhan yang tak pernah berakhir. Ini adalah hukum atau tuntutan hikmah Allah atas sifat mencerai-berainya harta terhadap segala kebutuhan. Lalu bagaimana mungkin ia bisa memenuhi semua kebutuhan itu. Begitu juga dalam firman-Nya: Ia mengira bahwa hartanya akan melanggengkannya, ada isyarat akan adanya kebodohan. Jelasnya, ia tidak tahu bahwa perolehan yang abadi bagi pemiliknya adalah berbagai ilmu keutamaan jiwa, bukannya harta benda atau simpanan material yang fanā’, tetapi ia terlanjur tertipu oleh panjang angan, terkelabui oleh syaithān waham (wahm) dari ajal yang datang tiba-tiba. Kesimpulannya, sesungguhnya kebodohan yang merupakan daya jiwa rendah kepemilikan adalah pangkal dari segala kerendahan dan biang keroknya, karena itu sudah pasti bahwa pemilik yang tenggelam dalam kebodohan itu pantas mendapatkan adzab abadi yang menguasai hati dan merusak hakikat hati.
كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ.
وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الْحُطَمَةُ.
نَارُ اللهِ الْمُوْقَدَةُ.
الَّتِيْ تَطَّلِعُ عَلَى الْأَفْئِدَةِ.
إِنَّهَا عَلَيْهِمْ مُّؤْصَدَةٌ.
فِيْ عَمَدٍ مُّمَدَّدَةٍ
104:4. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Ḥuthamah.
104:5. Dan tahukah kamu apa Ḥuthamah itu?
104:6. (Yaitu) api (yang disediakan) Allah yang dinyalakan,
104:7. Yang (membakar) sampai ke hati.
104:8. Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka,
104:9. (Sedang mereka itu) diikat pada tiang-tiang yang panjang.
Kalla la yunbadzanna fil-uthamah (Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam uthamah – ayat: 4). Jelasnya, ia akan dijatuhkan dari martabat fitnah ke jurang tabiat (rendah) yang bersimaharajalela. Itulah Ḥuthamah atau api menyala-nyala yang suka menghancurkan segala sesuatu yang jatuh padanya dengan energi panasnya yang amat kuat. Itulah neraka ruhani yang menghancurkan mutiara hati, yang melingkupi hati dan menyakitinya sesakit-sakitnya, yang menembus sampai ke muka dan bāthin-nya, naik sampai ke bagian hati yang menyambung dengan ruh.
Innaha ‘alaihim mu‘shadah (Sesungguhnya api itu ditutup rapat atas mereka – ayat: 8). Yakni pintunya dikunci karena terhijabnya hati di dalam tempat Ḥuthamah itu dengan materi-materi jasmani, berkuasanya bentuk-bentuk perilaku gelap, akibat-akibat materi, bentuk-bentuk binatang, binatang buas, setan terhadap hati itu; dan karena hati itu enggan membebaskan diri dari tempat itu ke alam quddūs. Fi ‘amadin mumaddadah (Sedang mereka itu) diikat di atas tiang-tiang panjang – ayat: 9) yang membentang dari jangkauan wilayah peredaran hati sampai ke pusat. Itulah unsur-unsur tabiat rendah yang diikat pada “tiang-tiang” itu dengan gila materi (ta‘alluq), rantai keinginan dan cinta materi. Wallāhu ‘alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar