بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Senin, 24 September 2018

Diskusi Spiritual 1

Bagi seseorang yang lathifah qalbnya hidup surga dan neraka bukan rahasia lagi.
Ada teman yang bertanya bagaimana menghidupkan titik latifah ruhaniah?
Banyak metode mulai dari terberat sampai terringan untuk bisa hiduppun berkat karunia Allah.
Pakai metode terringan aja dulu yang nyaman dan tidak membebani kalau metode berat nanti ruhaninya belum siap dan gak kuath.
Bisa dilakukan kapanpun yang penting dalam keaadaan khusyuk ,hening dan suci.
Pertama ucapkan ta'awudz 3x untuk memproteksi diri dari setan cukup dengan ta'awudz setan setan sudah terbakar habis.
Selanjutnya ucapkan basmallah 7x untuk kebangkitan jiwa lalu istigfar dan sholawat 7x sesudah itu baca tahlil didalam hatimu yang terdalam dengan ketulusan dan keyakinan penuh 165x akhiri Muhammad rasulullah 1x
Kalau sudah melakukan langkah diatas lanjut dengan dzikir pernafasan dilakukan terus menerus minimal 30 menit lakukan dengan nyaman dan enjoy. Hidupkan rasa terdalammu rasakan energi dan cahaya illahiah mulai masuk dan membersihkan dan menghidupkan latifah ruhani rasakan kedutan kedutan energi suci yang akan mendobrak kegelapan pertama tama kita harus sadar energi dulu lalu sadar pergerakan ruh.
Tarik nafasmu dalam dalam sambil melafadzkan HU dibaca dalam hati sambil menghirup nafas huuuuuuu....HU adalah tasbihnya malaikat di surga.hembuskan ALLAH yang panjang secara perlahan di ulang sampai 3x pernafasan akhiri dengan menlafadzkan dalam hati HAQQ yang panjang dan mantap pada saat melafadzkan HAQQ kita akan mendapatkan energi itu ini kuncinya Allah Hu 3x Haqq1x
Dzikir nafas ini dilakukan secara continue terus menerus agar ruh kita dapat asupan energi yang besar.minimal 30 menit maksimal dilakukan terus menerus semampunya dilakukan dengan nyaman yang penting tulus...
Kalau kita mengamalkannya tulus dan cinta kepada ALLAH insyaAllah akan hidup dalam 3 bulan bahkan lebih cepat dari itu sewaktu sudah hidup dan tingkatannya sudah ahli dengan izin Allah Ta'ala maka seseorang bisa melihat surga dan neraka melalui titik ruhaniahnya, kalau jiwa kita terdeteksi diwilayah neraka kita harus melakukan riyadhoh (latihan ruhani)secara serius dan intens bisa inbox ke FB saya atau bertanya kepada seseorang yang berpengalaman dan ahli yang bertanggung jawab,agar kita bisa keluar dari wilayah neraka dan naik ke surga.
Semoga Allah Ta'ala memberikan keberhasilan dan keselamatan melakukan usaha akhirat sampai bisa kembali kesurga atau hadirat illahi yang maha Indah inna lillahi wa inna illaihi roji'un.

Mati Sebelum Mati

[Mengenai sabda Rasulullah SAW, ‘Matilah sebelum
engkau mati:’ “Wahai sahabat, matilah sebelum
engkau mati, jika yang paling engkau kehendaki
adalah hidup; karena dengan mati seperti itu Idris a.s.
menjadi seorang penghuni al-Jannah terlebih dahulu
daripada kita semua.”]



Engkau telah banyak menderita,
tetapi engkau masih tetap terhijab, karena
kematian itu suatu pokok yang mendasar, dan
engkau belum mencapainya.

Deritamu tidak akan berakhir sampai engkau mati:
engkau tidak dapat menjangkau atap tanpa
menyelesaikan tangga panjatan.

Walau hanya tersisa dua buah dari seratus anak-tangga,
sang pemanjat yang telah keras berjuang tetap
saja terhalang dari menjejakkan kaki di atas atap.

Walau tambang hanya kurang satu dari seratus depa,
bagaimanakah caranya air-sumur masuk ke dalam timba.

Wahai pejalan, tidak akan pernah engkau mengalami
kehancuran kapal keberadaan-diri ini, sampai
engkau meletakkan pemberat terakhir.

Ketahuilah pemberat terakhir itu sangatlah pokok,
ia bagaikan bintang yang menembus, yang muncul pada
malam hari: ia menghancurkan kapal yang penuh
ide-jahat dan kesalahan ini.

Kapal bangga-diri ini, ketika ia sepenuhnya hancur,
menjadi matahari di tengah lengkung biru al-Jannah.

Selama engkau belum mati, deritamu akan terus berkepanjangan:
engkau akan dipadamkan manakala fajar merekah,
wahai lilin dari Thiraz!

Ketahuilah, Matahari dari alam ini tetap tersembunyi
sampai bintang-bintang kita tertutup.

Gunakanlah tongkat itu kepada dirimu-sendiri:
hancurkanlah cinta-dirimu, karena mata jasmaniah ini
bagaikan sumbat pada pendengaranmu.

Engkau tengah menggunakan tongkat itu kepada dirimu-sendiri,
wahai manusia rendah: cinta-diri ini adalah bayangan dari
dirimu-sendiri dalam cermin dari tindakan-tindakan-Ku

Engkau telah melihat bayangan dari dirimu-sendiri dalam
cermin dari bentuk-Ku, dan telah meradang,
ingin menempur dirimu-sendiri,

Bagaikan singa yang terjun ke dalam sumur;
karena menyangka bayangan dirinya-sendiri adalah musuhnya.

Tidak diragukan lagi, ketiadaan (‘adam) adalah lawan
dari keberadaan (wujud), maksudnya adalah agar dari
lawannya ini, engkau memperoleh sedikit pengetahuan
tentang yang sebaliknya.

Pada saat ini tidak ada sarana yang menyebabkan diketahuinya
Tuhan, kecuali dengan penyangkalan kebalikan:
dalam kehidupan kini tiada saat yang tanpa jebakan.

Wahai pemilik kesejatian,
jika engkau menginginkan ketersingkapan-hijab al-Haqq,
pilihlah kematian dan robeklah hijab.

Bukanlah ini kematian yang kemudian membawamu
ke dalam kubur, melainkan suatu kematian berupa
transformasi jiwa, sehingga ia akan membawamu ke dalam
suatu Cahaya.

Ketika seseorang beranjak dewasa, masa kanak-kanaknya mati;
ketika dia tumbuh putih seperti orang Yunani,
ia menanggalkan celupan hitamnya yang bagaikan orang Afrika.

Ketika bumi menjadi emas, tiada tertinggal unsur kebumiannya;
ketika sedih menjadi gembira, duri kesedihan tiada tersisa.

Karenanya, Sang Mustafa bersabda: “Wahai pencari
rahasia-rahasia, jika engkau hendak melihat orang mati yang hidup,

Yang berjalan-jalan di atas bumi, seperti orang yang masih hidup,
namun dia telah mati dan jiwanya telah pergi ke al-Jannah;

Orang yang jiwanya memiliki tempat-tinggal yang tinggi saat ini,
ketika ajalnya tiba, tidaklah jiwanya dipindahkan.

Karena dia telah dipindahkan sebelum mati:
rahasia ini hanya dimengerti dengan mengalami kematian,
bukannya dengan menggunakan nalar seseorang;

Tetaplah itu sebuah pemindahan, tetapi tidak sama
dengan pemindahan jiwa-jiwa dari mereka yang rendah:
itu mirip dengan suatu perpindahan dalam hidup ini,
dari suatu tempat ke tempat lain.

Jika ada yang ingin melihat seseorang yang telah mati,
tapi masih tampak berjalan di bumi,

Biarkanlah dia memperhatikan Abu Bakar,
sang shalih, yang dengan menjadi seorang saksi yang shiddiq,
menjadi Pangeran Kebangkitan.

Dalam hidup kebumian kini, tataplah sang shiddiq,
sehingga lebih yakin lagi engkau percaya kepada Kebangkitan.”

Karena itulah, Muhammad merupakan seratus kebangkitan jiwa,
di sini dan kini; sebab terlarutkan dia dalam kematian,
dari kehilangan dan keterikatan sementara.

Ahmad itu lahir dua-kali di alam ini:
dia memanifestasi dalam seratus kebangkitan.

Mereka bertanya kepadanya mengenai Kebangkitan:
“Wahai (engkau yang adalah) Sang Kebangkitan,
berapa jauhkah jalan menuju Kebangkitan?”

Dan sering dia akan berkata, dengan kefasihan bisu:
“Adakah seseorang menanyakan (kepadaku, yang adalah)
Sang Kebangkitan, mengenai Kebangkitan?”

Oleh karenanya, Sang Rasul yang membawa kabar-kabar gembira
berkata, dengan penuh-makna: “Matilah sebelum engkau mati,
wahai jiwa-jiwa mulia,

Seperti aku telah mati sebelum mati,
dan membawa dari Sana kemasyhuran dan keterkenalan ini.”

Sebab itu, jadilah kebangkitan dan, dengan demikian,
lihatlah kebangkitan: menjadi kebangkitan adalah syarat
yang diperlukan agar dapat melihat segala sesuatu
sebagaimana adanya.

Sampai engkau menjadi hal itu,
tidaklah akan engkau ketahui dengan sempurna,
apakah hal itu terang atau gelap.

Jika engkau menjadi ‘Aql,
engkau akan mengetahui ‘Aql dengan sempurna; jika
engkau menjadi Cinta, akan engkau ketahui nyala sumbu Cinta.

Akan aku nyatakan dengan jelas bukti dari pernyataan ini,
jika ada pengertian yang tepat untuk menerimanya.

Buah-ara mudah diperoleh di sekitar sini,
jika ada burung pemakan buah-ara yang mau bertamu.

Semuanya saja, lelaki ataupun perempuan, di seluruh alam,
tiada hentinya dalam sekarat, dan tengah mati.

Anggaplah kata-kata mereka sebagai wasiat kepada anaknya,
yang disampaikan seorang ayah pada saat seperti itu.

Sehingga dengan demikian, semoga tumbuh
di hatimu pertimbangan dan belas-kasih,
supaya akar kebencian dan kecemburuan dan permusuhan
dapat tercabut.

Pandanglah sesamamu dengan cara demikian,
sehingga terbakarlah hatimu dengan belas-kasih,
bagi sekaratnya.

“Semua yang mesti datang, akan datang:”
anggaplah dia sudah datang di sini dan kini,
anggaplah sahabatmu sedang sekarat dan tengah mati.

Dan jika kehendak-kehendak yang mementingkan diri-sendiri
menghalangimu dari pandangan seperti ini,
buanglah kehendak seperti ini dari dadamu;

Dan jika engkau tidak-mampu, janganlah
terus berdiam-diri dalam keadaan tidak-mampu itu:
ketahuilah bersama dengan setiap ketidak-mampuan terdapat
Yang-Membuat-tidak-mampu.

Ketidak-mampuan itu adalah sebuah belengu:
Dia mengikatmu dengannya, engkau harus membuka
matamu untuk menatap Dia yang mengikatkan belengu.

Karenanya, bermohonlah dengan rendah-hati, katakanlah:
“Wahai Sang Pemandu kehidupan, sebelumnya aku merdeka,
dan kini aku terjatuh dalam keterikatan;
gerangan apakah sebabnya?

Telah lebih keras dari sebelumnya kuinjak-injakan kakiku
pada kejahatan, karena Engkaulah Sang Maha Kuasa,
dan aku senantiasa berada dalam kerugian.

Selama ini aku tuli kepada seruan-Mu:
seraya mengaku-aku diri seorang penghancur berhala,
padahal sesungguhnya aku adalah seorang pembuat berhala.

Apakah lebih pantas bagiku merenungkan tentang
karya-karya-Mu atau tentang kematian?
(Tentang kematian): Kematian itu bagaikan musim-gugur, dan
Engkau adalah (akar yang merupakan) sumber dari dedaunan.”

Telah bertahun lamanya, kematian ini memukul-mukul
genderangnya, (tetapi hanya ketika) telah terlambat telingamu
tergerak mendengarkan.

Dalam kesakitannya (manusia yang lalai) menjerit dari kedalaman
jiwanya: “Wahai, aku tengah sekarat!” Apakah baru sekarang ini
Kematian membuatmu sadar akan kehadirannya?

Tenggorokan kematian serak karena teriakan-teriakannya;
genderangnya robek karena kerasnya pukulan-pukulan
yang diterimanya.

Tetapi engkau menghancurkan dirimu-sendiri dalam
remeh-temeh: baru kini engkau menangkap rahasia kematian...

salaam ~

SURAH AN-NAS 114 ~ TAFSIR SPIRITUAL

Surah Ke-114; 6 Ayat.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ. مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
114:1. Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
114:2. Raja manusia.
114:3. Sembahan manusia.
114:4. dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi,
114:5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
114:6. dari (golongan) jin dan manusia.
Qul A‘ūdzu birabb-in-nās (Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan – ayat 1). Yang dimaksud dengan Tuhan manusia adalah Dzat berikut seluruh sifat-Nya. Kenapa Tuhan manusia berarti demikian? Karena manusia sesungguhnya adalah makhluk yang mencakup seluruh tingkatan wujud. Ini berarti bahwa Tuhan Pencipta manusia pun adalah Dzat berikut seluruh nama-nama yang menjadi pangkal segala ciptaan. Dzat berikut seluruh nama itu diungkapkan dengan nama Allah. Karena itu Allah berkata (kepada Iblis): “Apa yang membuatmu enggan bersujud dengan apa yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?” Yang dimaksud dengan “kedua tangan-Ku” adalah dengan sifat-sifat yang saling berlawanan, seperti sifat kelembutan dengan kemurkaan, sifat keindahan dengan keagungan, yang kedua-duanya meliputi nama-nama Tuhan itu. Allah memerintahkan agar berlindung dengan wajah-Nya setelah berlindung dengan sifat-sifatNya. Karena itu surah ini diletakkan setelah surah Al-Mu‘awwidzah pertama (al-Falaq). Sebab, di dalam surah Al-Mu‘awwidzah pertama itu Nabi memohon perlindungan di dalam maqam sifat dengan nama-Nya Yang Maha Pemberi petunjuk (al-Hādī), lalu Allah menunjukinya ke arah Dzat-Nya.
Kemudian Allah menjelaskan kata Tuhan manusia (rabb-in-nās yang terdapat dalam ayat 1) dengan kata raja manusia (malik-in-nās yang terdapat dalam ayat 2). Ini menunjukkan bahwa kata kedua sebenarnya adalah penjelas (‘athaf bayān) bagi kata pertama. Ketika yang namanya raja adalah Dialah yang menguasai nyawa dan urusan-urusan mereka dilihat dari segi kefanaan mereka di dalam Tuhan. Ini dijelaskan oleh firman-Nya: “Kepunyaan siapakah kerajaan hari ini? Kepunyaan Allah yang Maha Esa dan Perkasa.” Sebab, raja pada hakikatnya adalah yang Esa dan Perkasa yang menguasai segala wujud sesuatu, kemudian menyayanginya.
Ilāh-in-nās (Sembahan manusia – ayat 3). Ayat ini untuk menjelaskan keadaan baqa’ mereka setelah fana’. Karena kata Ilāh (Tuhan) adalah yang disembah secara mutlak. Itulah Dzat berikut seluruh sifat-Nya dilihat dari sudut pandang akhir perjalanan ruhani (Nabi s.a.w.). Nabi berlindung dengan sisi mutlak Tuhan lalu ia fana’ di dalam-Nya, dan tampaklah Dia sebagai raja. Kemudian Tuhan mengembalikan Nabi kepada wujud (semula) untuk menyembah-Nya, sehingga Tuhan selamanya adalah yang disembah. Dengan demikian, sempurnalah permohonan perlindungan Nabi kepada Tuhan.
Min syarr-il-waswās-il-khannās (dari kejahatan (bisikan) syaitan – ayat 4). Sebab, bisikan menuntut adanya tempat yang bersifat wujud, seperti disebutkan dalam ayat selanjutnya: Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia (alladzī yuwaswisu fī shudūr-in-nās – ayat 5). Sedangkan dalam keadaan fana’ tidak ada wujud, tidak ada dada, tidak ada bisikan, tidak ada pembisik, tetapi yang muncul di sana adalah ketergoyahan (talwīn) karena adanya wujud egoisme. Karena itu, katakanlah (wahai Muhammad): Aku berlindung kepada-Mu dari-Mu. Maka ketika Tuhan menjadi Sembahan dengan adanya penyembah, maka syaitan pun muncul dengan munculnya penyembah, seperti halnya syaitan pertama kali ada karena adanya penyembah.
Kata al-waswās adalah kata benda (bisikan). Sang pembisik (al-Muwaswis) disebut bisikan karena godaannya yang terus-menerus, sedemikian melekat godaan itu pada dirinya sehingga ia adalah bisikan itu sendiri. Nabi memohon pertolongan dari bisikan itu dengan kata Ilah, dan bukan dengan sebagian nama-Nya seperti dalam surah al-Mu‘awwidzah pertama (al-Falaq), semata-mata karena syaitan bisa menentang Yang Maha Pengasih (ar-Raḥmān) serta menguasai seluruh nama-nama Tuhan (seperti akan ditunjukkan di bawah) kecuali nama Allah. Nabi berlindung dari bisikan itu tidak cukup dengan nama Ar-Hādī, Al-‘Alīm, Al-Qadīr dan sebagainya, melainkan langsung dengan Ilah yang mencakup Dzat berikut seluruh sifat-Nya. Jadi, jika dalam surah al-Mu‘awwidzah pertama (al-Falaq) Nabi berlindung kepada Tuhan manusia (rabb-in-nās). Dari sini bisa dipahami makna sabdanya: “Siapa yang bermimpi bertemu denganku, maka ia benar-benar bertemu denganku, karena syaitan tidak bisa menjelma menyerupaiku.” (Artinya, karena beliau telah sempurna berlindung dengan Nama yang tak bisa ditiru syaitan – yakni nama Allah, maka syaitan pun tak bisa menyerupai Nabi s.a.w.).
Al-Khannās (Yang biasa bersembunyi – ayat 4), Jelasnya adalah yang kembali (setelah mundur). Sebab, syaitan tidak bisa membisikkan kecuali kalau yang terbisik dalam keadaan lupa. Karena itu setiap kali seseorang sadar dan mengingat Allah, maka syaitan pun akan terpukul mundur – sebab kata khannās(yang seakar kata dengan khannas) adalah kata benda yang menunjukkan kebiasaan, seperti kata waswas juga. Dari Sa‘id bin Jabir: “Jika seorang manusia mengingat Tuhannya, maka syaitan akan terpukul mundur dan kabur, dan jika ia lupa maka syaitan kembali membisikkannya.” Kalimat: “Dari jin dan manusia.” (Min-al-jinnati wan-nās) adalah penjelas untuk kalimat: “yang membisikkan (kejahatan) dalam ayat 5). Sebab, sesungguhnya pembisik dari kalangan syaitan itu ada dua macam: Pertama, tersembunyi dan tidak kasat mata seperti wahm; kedua bersifat manusiawi, berbentuk manusia yang kasat mata, seperti individu-individu yang menyesatkan.
Celakanya, syaitan bisa menggoda dengan menjelma seperti orang yang memberi petunjuk – dalam bentuk nama al-Hādī. Ini misalnya terlukiskan dalam firman-Nya: Sesungguhnya engkau datang kepada kami dari sebelah kanan.” Karena itu, terhadap syaitan yang menjelma dalam bentuk nama lahirnya (selain al-Hādī dari nama-nama Tuhan), maka permohonan perlindungan dari syaitan itu tidaklah sempurna kecuali dengan nama Allah. Sebab Allahlah Yang Maha Melindungi.

SURAH AL-FALAQ 113 ~ TAFSIR SPIRITUAL

الْفَلَقُ
AL-FALAQ
Surah Ke-113; 5 Ayat.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (١). مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (٢). وَ مِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (٣). وَ مِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (٤). وَ مِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (٥).
113: 1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan Yang Menguasai subuh,
113: 2. dari kejahatan makhluk-Nya,
113-3. dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
113-4. dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul,
113-5. dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”.

Qul ‘Aūdzu bi rabb-il-falaq (Katakanlah! Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh – ayat 1). Jelasnya, aku berlindung kepada dan dengan nama Tuhan yang Maha Pemberi Petunjuk, dengan cara meniru sifat-Nya dan menghubungkan diri dengan ru-ul-Quddūs yang berada dalam kehadiran nama-nama. Sebab, sesungguhnya falaq adalah cahaya subuh yang mendahului terbitnya matahari. Jadi, ayat ini bisa berarti: Aku berlindung dengan Tuhan penguasa “cahaya subuh” penampakan sifat-sifat-Nya yang mendahului “terbitnya” cahaya Dzat. Adapun yang dimaksud dengan Tuhan “penguasa subuh” sifat-sifat itu adalah nama Pemberi Petunjuk. Begitu pula setiap orang yang berlindung kepada Tuhan dari kejahatan segala sesuatu, maka sesungguhnya ia berlindung dengan nama-Nya tertentu yang berkaitan dengan kejahatan sesuatu itu, misalnya: berlindungnya seorang yang sakit kepada Tuhan, maka sesungguhya ia berlindung dengan nama yang Maha Mengobati (asy-Syāfī), atau seperti berlindungnya orang yang bodoh dari kebodohannya dengan nama al-‘Alīm (Yang Maha Mengetahui).
Min syarri mā khalaq (dari kejahatan makhluk-Nya – ayat 2). Jelasnya, dari kejahatan keterhijaban oleh makhluk dan dari pengaruh makhluk atas hijab itu. Sebab, orang yang menghubungkan diri dengan alam al-Quddūs di dalam kehadiran nama-nama dan mensifati dirinya dengan sifat-sifat-Nya, maka ia akan mempengaruhi setiap makhluk, bukannya terpengaruhi oleh seorang makhluk sekalipun. Sebab, sementara mereka berada di alam sabab musabab dan maqam perbuatan, ia telah naik dari maqam perbuatan itu menuju sifat-sifatNya yang merupakan pangkal perbuatan itu.
Wa min syarri ghāsiqin idzā waqab (dan dari kejahatan malam apabila telah gelap-gulita – ayat 3). Maksudnya, dari jahatnya keterhijaban oleh tubuh yang gelap, ketika kegelapan tubuh itu merasuki segala sesuatu, menguasainya dan mempengaruhi berbagai keadaan segala sesuatu itu agar menarik hati, karena kecintaan hati dan kecenderungannya serta keterarikannya ke arah tubuh itu.
Wa min syarri naffātsāti fil ‘uqad (dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul – ayat 4). Yang dimaksud dengan “wanita-wanita tukang sihir” itu adalah daya-daya nafsu rendah, seperti wahm, khayal, amarah, syahwat dan sebagainya yang menghembus-hembuskan berbagai dakwaan setan kepada tali buhul, tekad ruhani para penempuh jalan ruhani dengan cara menghinakan tekad itu, mengudar, dan melepas tali buhulnya dengan bisikan-bisikan.
Wa min syarri ḥāsidin idzā asad (dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki – ayat 5). Yang dimaksud orang dengki adalah nafsu pada saat dengki kepada kebercahayaan hati, sehingga nafsu itu mengklaim sifat-sifat dan pengetahuan hati dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berbagai sifat dan pengetahuannya, lalu nafsu itu mengalahkan dan menghijabkannya hati. Itulah ketergoyahan (talwīn) yang terjadi di dalam maqam hati.
Bisa pula “malam” (al-ghāsiq yang terdapat dalam ayat ke-3) berarti nafsu yang menguasai dan menghijab hati dengan kegelapan sifat-sifatnya. Sedangkan yang dimaksudkan “orang dengki” (al-asadyang terdapat dalam ayat-4) adalah hati ketika muncul di dalam maqam penyaksian. Sebab, goyahnya maqam penyaksian (rūḥ) adalah dengan merasa adanya wujud hati, seperti halnya goyahnya maqam hati oleh perasaan adanya wujud jiwa. Penyebutan tiga jenis kejahatan ini – berikut permohonan perlindungan darinya – yang ditempatkan setelah permohonan perlindungan dari seluruh makhluk, adalah semata-mata karena sesungguhnya orang jauh lebih sering terhijab oleh tiga kejahatan itu ketimbang oleh makhluk secara umum, karena saling lekatnya antara pemohon perlindungan dengan tiga kejahatan itu.